A mediator in the midst of US-China trade war?

We should grasp this opportunity to position ourselves as the mediator between these two superpowers.

1148 0
1148 0
English

Published by Business Today & The Sun Daily, image from Business Today.

Witnessing the decoupling of the US and China, as shown in the heightened tension between these two superpowers in trade at present, one could hardly remember the US-China honeymoon period before the Trump administration.

“Chimerica”, a term firstly coined by the historian, Niall Ferguson and economist, Moritz Schularick, reveals the symbiotic relationship between the US and China since the normalisation of their bilateral relations in 1979.

After China obtained the membership of World Trade Organization (WTO) in 2001, the Chimerica developed speedily. As a result, China became the biggest trading partner of the US in 2018.

According to World Trade Statistical Review 2020, the US and China were the top two exporters and importers in world merchandise trade in 2019, in which they shared one fifth of the total world trade in the former and a quarter in the latter.

Given their big volume in world trade, they are undoubtedly the engines of the international economic growth and the stabilizers of the world trade. Hence, the ongoing trade war between the US and China will inevitably affect the global economy as well as the national economy of other countries.

However, when it comes to the effect on other countries, there is still no consensus among the experts.

Some suggest Asean will largely benefit from this – opportunities to replace Chinese goods on the American market and vice versa, and the prospect of East Asia turning into a self-sustaining economic entity. On top of this trade and investment diversions, as well as the possible relocation of some enterprises out of China to Asean could possibly happen too.

However, in term of the long-term impact of the trade war, most analysts are of the view it remains a high-risk factor for Asean economies since focussing on short term gains is rather myopic.

Experts at the Asean+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) have speculated the trade war could wipe out approximately 0.2 percent to 0.3 percent of the Asean region’s GDP in 2019. Also, under the protectionist trade doctrine, the US government may impose sanctions on Asean member states too, should the diversion effect reach a certain degree.

Therefore, Asean has an interest to stand together as one to oppose the trade war, and it is admirable this unity in stance is achieved when its leaders had issued a joint statement in the Asean Summit 2019 to stand against the protectionism amid US-China trade war.

However, the organisation should and can do more. It can act as a potential mediator between US and China, representing the many third-party countries which have been experiencing the negative impact from the trade war.

Several existing platforms, such as the Asean Regional Forum (ARF) and the East Asian Summit (EAS) should be utilised to its fullness to address our concerns regarding the trade war to both the US and China.

Even though Malaysia is not the chairman for this year’s Asean Summit, we can still be an active advocator in pushing forward the mediation. It certainly is a win-win situation for the entire region due to the generally trade-dependent nature of the Asean economy, in which continuing trade war will only harm the economies of its member states. Moreover, Malaysia seems to be in a better position to play this role because our country is not a beneficiary from the US-China trade war.

According to Calvin Cheng of the Institute of Strategic and International Studies (ISIS), Malaysia has so far not materially benefitted from any “trade diversion”. In fact, he reveals that Malaysia’s regional peers such as Japan, South Korea, Taiwan and Vietnam are the ones who have reaped most of the benefits from the trade war.

The so-called “investment diversion” to Malaysia arising from the trade war is also limited. Official foreign direct investment (FDI) data demonstrates that during 2018-2019, manufacturing sector FDI growth has fallen even as headline FDI growth accelerated – proving there’s no clear-cut evidence of “investment diversion”.

Given that Malaysia is the host for Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2020, we could also persuade both the US and China to take APEC 2020 as the platform for their upcoming bilateral trade talk. This calls to mind the anticipation of many parties of the supposed meeting between the President Trump and President Xi in the previously cancelled APEC 2019.

We should grasp this opportunity to position ourselves as the mediator between these two superpowers. Since the trade war began in 2018, most of the trade talks and negotiations involved only the US and China. However, their conflict has enormous spill-over effects over other countries. We should have a say in this regard, too.

Malaysia is capable of playing the role as the mediator given the core of our foreign policy is to be friends with all and avoid taking sides. Malaysia is also an experienced peacemaker, as we were an important actor in the reconciliation between Manila and Mindanao as well as between Bangkok and its southern border provinces.

A more proactive role in the US-China trade war is desirable in the context of the global economy being inflicted with the Covid-19 pandemic, more so as the continuous trade war is detrimental to our national interest.

Jamari Mohtar and Lim Ji Yi are part of the research team at EMIR Research, an independent think tank focused on strategic policy recommendations based on rigorous research.

Bahasa Melayu

Diterbitkan oleh EMIR Research.

Menyaksikan kedinginan antara Amerika Syarikat (AS) dengan China, seperti yang diperlihatkan dalam hubungan dagangan antara kedua-dua kuasa besar itu yang kian tegang mutakhir ini, sukar untuk kita mengingati tempoh bulan madu AS-China yang pernah dikecapi sebelum pentadbiran Trump.

“Chimerica”, istilah yang dicipta oleh sejarawan Niall Ferguson dan ahli ekonomi Moritz Schularick, mengungkapkan hubungan simbiotik antara AS dengan China sejak hubungan diplomatik di antara kedua- dua negara itu bermula pada 1979.

Setelah China memperoleh keahlian Pertubuhan Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001, Chimerica berkembang dengan pesat. Hasilnya, China menjadi rakan dagang terbesar AS pada 2018.

Menurut World Trade Statistical Review 2020, AS dan China merupakan pengeksport dan pengimport kedua terbesar dalam perdagangan dunia pada 2019, di mana mereka berkongsi seperlima import dan seperempat eksport keseluruhan perdagangan dunia.

Lantaran itu, tidak dapat dinafikan mereka enjin pertumbuhan ekonomi dunia dan pemantap perdagangan dunia, lantas perang dagang yang berlanjutan antara mereka pasti akan mempunyai kesan kepada ekonomi dunia dan juga ekonomi negara-negara lain.

Namun, para pakar masih belum sebulat suara mengenai kesan perang dagang ini terhadap negara-negara lain.

Ada yang berpendapat anggota Persatuan Negara-negara Asia Tenggara (Asean) akan banyak meraih manfaatnya – peluang untuk menggantikan barangan buatan China di pasaran Amerika dan sebaliknya, serta prospek Asia Timur menjadi sebuah entiti ekonomi yang dapat bertahan dengan sendirinya. Selain itu, pengalihan perdagangan dan pelaburan serta penempatan semula perusahaan di China ke Asean juga mungkin berlaku.

Namun, dari segi kesan jangka panjang perang dagang itu, kebanyakan penganalisis berpendapat ia tetap menjadi faktor berisiko tinggi bagi ekonomi Asean.

Para pakar di Pejabat Kajian Makroekonomi Asean + 3 (AMRO) telah meramalkan perang dagang tersebut akan menghakiskan sekitar 0.2% hingga 0.3% keluaran dalam negara kasar (KDNK) rantau Asean pada 2019. Selain itu, di bawah doktrin perlindungan dagangan, AS akan mengenakan sekatan dagangan ke atas negara anggota Asean juga, sekiranya kesan pengalihan tersebut mencapai tahap tertentu.

Asean mempunyai kepentingan untuk bersatu dalam membantah perang dagang tersebut dan ini telah dilakukannya apabila pada 2019 para pemimpin Asean telah mengeluarkan kenyataan bersama mengenainya dalam Sidang Kemuncak Asean.

Bagaimanapun, banyak lagi yang boleh diusahakan Asean dalam hal ini. Ia berpotensi memainkan peranan orang tengah antara AS dan China, mewakili banyak lagi negara pihak ketiga yang sedang mengalami kesan negatif perang dagang itu.

Beberapa wadah sedia ada, seperti Forum Serantau Asean (ARF) dan Sidang Kemuncak Asia Timur (EAS) harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk meluahkan kebimbangan kita terhadap perang dagang itu kepada AS dan China.

Walaupun Malaysia bukan pengerusi untuk Sidang Kemuncak Asean tahun ini, namun kita masih boleh menjadi penggalak aktif untuk menjayakan misi orang tengah tersebut. Ini tentunya menguntungkan seluruh rantau kerana asas ekonomi Asean banyak bergantung pada perdagangan, di mana perang dagang yang berlanjutan hanya akan merugikan ekonomi negara-negara anggotanya. Lebih-lebih lagi, Malaysia berada dalam kedudukan baik untuk menjayakan peranan orang tengah kerana negara kita tidak meraih sebarang manfaat dari perang dagang AS-China.

Menurut Calvin Cheng dari Institut Kajian Strategik dan Antarabangsa (ISIS), Malaysia setakat ini belum meraih faedah dari sebarang “pengalihan perdagangan”. Beliau mendedahkan sebenarnya negara-negara seperti Jepun, Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam yang ternyata meraih manfaat dari perang dagang itu.

Apa yang disebutkan sebagai “pengalihan pelaburan” ke Malaysia akibat perang dagangan juga terhad. Data rasmi pelaburan langsung asing (FDI) menunjukkan pada 2018-2019, FDI di sektor pembuatan telah merosot walaupun FDI negara secara keseluruhannya meningkat – bukti jelas tiadanya “pengalihan pelaburan”.

Memandangkan Malaysia ialah tuan rumah untuk Sidang Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2020, kita boleh memujuk AS dan China untuk menjadikan APEC 2020 sebagai wadah bagi rundingan dagangan dua hala mereka yang seterusnya.

Kita harus mengambil peluang untuk menempatkan diri kita sebagai pengantara kedua-dua kuasa besar ini. Sejak perang dagang bermula pada 2018, kebanyakan rundingan dagangan hanya melibatkan AS dan China. Namun, konflik dagangan ini mendatangkan kesan limpahan yang besar kepada negara-negara lain. Lantaran itu, kita patut mempunyai suara dalam hal ini.

Malaysia mampu memainkan peranan orang tengah kerana teras dasar luar kita adalah berkawan dengan semua dan mengelakkan berpihak. Malaysia juga merupakan pendamai berpengalaman, kerana peranan penting kita dalam rundingan damai antara Manila dengan Mindanao, begitu juga antara Bangkok dengan wilayah selatannya.

Peranan lebih proaktif dalam perang dagang AS-China adalah wajar dalam konteks ekonomi global yang ditimpa wabak Covid-19, lebih-lebih lagi kerana perang dagangan yang berlanjutan memudaratkan kepentingan negara kita.

Jamari Mohtar dan Lim Ji Yi merupakan Pasukan Penyelidik di EMIR Research, sebuah badan pemikir bebas yang berfokuskan kepada pencernaan saranan-saranan dasar strategik berteraskan penyelidikan yang terperinci, konsisten dan menyeluruh.

In this article